Udara
pagi terasa pengap berselimut panas membara bagai api yang membakar disekujur
tubuh di tengah suasana sejuk desa Sekar Bhuwana. Made Santra termenung di
pojokan kamar tengadah menatap langit-langit kamarnya. Tatapan matanya kosong
memendam rasa kecewa yang mendalam sejak kemarin malam.
“Keluar
kamu De,” Bentak pria paruh baya dari sisi kamarnya seraya menggedor-gedor
pintu kamar.
Tok!...Tok!
Made
Santra masih tak bergeming, ia masih duduk di pojokan sebelah di samping kasurnya
yang sempit. Berkali-kali panggilan tak dijawabnya, sedikitpun tak ada kata
yang keluar dari bibirnya.
“Cepat
keluar, dari tadi diam saja,” Ucap pria itu lagi dengan nada marah. “Apa saja
yang kamu lakukan di dalam. Apa kamu tak mendengar!”. “Siapa yang mengajarimu tak
beretika?.”
Suara
pintu yang semakin keras terdengar yang akhirnya membuat Made Santra mulai
bergeming, “Iya, iya Ayah. Aku keluar sekarang,” Jawab Made Santra segera
membuka pintu yang menghampiri pria yang memangil-manggilnya tadi itu yang
merupakan ayahnya.
“Ngapain
kamu tak menyahut dari tadi dipanggil-panggil. Kamu sudah cukup dewasa
seharusnya kamu jangan seperti anak kecil lagi,” Kata ayahnya dengan nada yang
masih tinggi.
“Aku
bukan anak kecil lagi Yah. Selalu diatur-atur.” sahut Made Santra yang tak bisa
menyembunyikan rasa kecewanya.
“Diam,
cukup. Dari kemari kamu masih saja melawan. Aku ini ayahmu!”
“Terus
saja marahi aku Yah, terus!”
“Ikuti
perintah ayah, kamu harus mengerti itu!”
“Aku
juga punya pilihan sendiri, Ayah harus mengerti aku juga!”
Pergulatan
Made Santra dan ayahnya semakin kian tak berujung. Wajah ayahnya memerah padam sementara
Made Santra semakin tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.
“Sudah
bagus bekerja di kota, kenapa kamu harus berhenti malah pulang. Apa yang bisa kamu
harapkan di sini,” Ujar ayahnya dengan nada yang kini kian merendah.”Kembali ke
kota, itu pilihan yang lebih menjamin kehidupanmu nanti.”
Sementara
Made Santra terdiam, tak menyahut sepatah katapun. Bibirnya semakin membeku
raut wajahnya layu semu.
“Ayah
punya harapan terbaik untukmu. Tetap kerja di kota, jangan tinggal di sini. Apa
yang kamu harapkan dari hidup di desa!” kata ayahnya lagi.
“Cukup
Yah, aku masih tetap ingin di desa.” Ucap Made Santra langsung pergi
meninggalkan ayahnya pergi ke luar rumah.
Rasa
lelah Made Santra dicerca untuk tetap tinggal di kota membebani pikiran dan
bahkan batinnya. Rumah yang sejuk pun terasa pengap, sementara ia baru pulang
kemarin malam selepas rutinitas menyelesaikan berkas administrasi pekerjaan di
ibu kota. Baru kemarin ia memutuskan untuk berhenti dan mengundurkan diri dari
perusahaan yang telah digeluti selama lima tahun belakangan.
Perasaan
yang tak menentu dan beban yang dipendam membuatnya pergi untuk menghirup udara
bebas di pedesaaan. Ia pergi tanpa pamit berkeliling di desa Sekar Bhuwana memandangi
hamparan sawah yang masih asri di kelilingi perbukitan. Desa Sekar Bhuwana
berada di balik bukit yang jauh dari perkotaan. Namun, tatapannya kini lebih cerah,
rona wajahnya nampak lebih bersemi.
Di
tengah perjalanan, ia melihat para petani begitu gigih memikul gabah dan
hasil-hasil pertanian di pundaknya. Wajah-wajah lelah para petani basah
bercucuran peluh di tengah teriknya matahari menyengat kulit. Di sini Made
Santra terhenti serta menghela nafas sambil menatap para petani dengan rasa
penuh empati.
Selepas
melewati hamparan sawah kini Made Santra bertemu seorang nenek tua paruh baya
sedang menjajakan daganganya di pinggir jalan. Rasa iba membuatnya terhenti dan
membeli sebungkus nasi yang dijajakan oleh nenek itu. Kebetulan perutnya masih
kosong, tak ada apapun yang ia nikmati sejak pagi itu.
Menjelang
sore, perjalanan telah membawa Made Santra ke pinggir sungai yang membuatnya
tertegun. Ia mendapati keindahan alam yang tak terurus, sampah berserakan di
sepanjang sungai itu. Namun dihadapannya ada air terjun yang cantik dengan air
yang dingin dan jernih.
Kini,
pikiran Made Santra semakin terguncang penuh dilema. Satu sisi ia memiliki asa
mengembangkan potensi desanya. Sementara disisi lain ayahnya tak pernah memberi
restu karena keinginnya tetap agar Made Santra tinggal di kota. Hingga hari
yang telah semakin gelap membawa Langkah kakinya kembali ke rumah.
Sesampai
di rumah, ayahnya telah menunggu di pagar pintu.
“Dari
mana saja kamu seharian?” Tanya ayahnya dengan nada penuh marah.
“Aku
keliling Yah, mencari udara bebas.” Sahut Made Santra menunduk.
“Segera
masuk, siapkan besok kembali ke kota. Disana hidupmu akan lebih terjamin.” Ucap
ayahnya penuh harap.
“Tidak
Yah, aku sudah memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai Perbekel Sekar Bhuwana.”
jawab Made Santra bulat.
“Apa?”
tanya ayahnya kaget. Sontak saja bengong mendengar jawaban Made Santra diluar
yang pernah ia bayangkan. Anak yang ia sayangi dan harapkan untuk mencapai
kesuksesan malah merencanakan sesuatu yang menurutnya tidak menjamin kehidupan.
“Kamu
mimpi?”
“Keputusanku
sudah bulat Yah.”
“Urungkan
niatmu yang tak jelas itu.”
“Tidak
Yah, Aku akan menjalani semua apapun yang terjadi.”
Made
Santra segera masuk ke dalam kamarnya. Keputusan Made Santra mencalonkan diri
menjadi perbekel (Kepala Desa) Desa Sekar Bhuwana cukup mengangetkan ayahnya.
Pilihan yang sulit diterima ayahnya karena
ia sudah memiliki penghasilan mapan semenjak bekerja di salah satu perusahan
terpandang di ibu kota.
Rupanya
Made Santra diam-diam sejak tiga bulan terakhir mengulik kabar dari internet
lewat media sosialnya. Pergantian tampuk kepemimpinan di desanya membuka
secercah harapan untuk mengabdikan diri pada tanah kelahirannya.
Hari-hari
berlalu Made Santra telah cukup memenuhi syarat untuk mencalonkan diri menjadi
perbekel, sementara itu ayahnya kini semakin menutup diri. Tak ada sepatah
katapun keluar dari bibirnya.
Perjalanan
Made Santra dalam kontestasi pemilihan perbekel desa Sekar Bhuwana benar-benar
tak dilalui dengan mudah. Ia harus berhadapan dengan Wayan Merta seorang
incumbent yang terpandang bahkan ditakuti di desanya.
Memasuki
masa-masa kampanye mulai isu-isu disebar untuk menjatukan nama baik Made
Santra. Intimidasi juga sering dilakukan untuk menjegal dan berupaya
menjatuhkan Made Santra.
Suatu
ketika, di pinggiran jalan Made Santra dibantu saudaranya memasang baliho
datang dari arah belakang Ketut Jering orang suruhan Wayan Merta marah menggeber
motor, memaki dan berkata, “he…anak kemarin sore. Mundur saja, percuma maju
untuk kalah.”
“Ini
demokrasi yang menentukan adalah pilihan masyarakat desa ,” Ucap Made Santra
pelan.
“Balik
saja ke kota. Jangan harap bisa menang menjadi perbekel.”
“Siapa
kamu yang menentukan?”
“Banyak
omong, alasan. Kalah ya kalah.”
“Kita
tunggu saja hasilnya.”
“Awas
saja kamu!” gertak Ketut Jering sambil menggeber motor pergi meninggalkan Made
Santra.
Keteguhan
hati Made Santra tetap tak tergoyahkan meskipun berbagai intimidasi dan ancaman
tiap hari harus ia hadapi. Namun, di tengah semangatnya itu Made Santra tetap merasa
kurang karena restu dari ayahnya belum juga ia dapatkan. Made Santra memutuskan
untuk menemui dan memohon restu dari ayahnya.
Saat
senja gerimis, ayahnya duduk termenung memandang tanaman disekitaran. Datang
Made Santra bersimpuh dan bersujud di depan ayah.
“Maafkan
aku Yah, aku merasa sangat bersalah.” kata Made Santra lirih.
Sedikitpun
ayahnya tak bergeming, raut sedih nampak dengan tatapan matanya mengambang. Tak
cukup kata yang mampu diungkapkan, Made Santra menunduk tak bergeser dari kaki
ayahnya.
“Sudah,
sudah De. Bangunlah,” Ucap ayahnya pelan. “Saat ini Ayah tak bisa lagi
melarangmu.” Kalau itu sudah kemauanmu bapak tak mampu menahan lagi.”
“Ayah,
maafkan aku.”
“Tidak,
nak. Tak perlu minta maaf.”
“Aku
hanya ingin mengabdi untuk tanah kelahiran kita, Yah.”
“Jika
ini adalah jalanmu dan ketulusanmu semoga Tuhan memberi jalan terbaik untukmu, Nak.”
Sahut ayahnya seraya memegang kepala Made Santra memberi restu.
Gerimis
senja menjelang malam hari itu seketika terhenti. Bagaikan ikut serta menjadi
pertanda pergulatan anak dan ayah telah usai sejak berminggu-minggu. Sejak itu
pula Made Santra dipenuhi semangat dan energi baru merasuk disekujur tubuhnya.
Begitu
tiba waktunya pemilihan perbekel desa Sekar Bhuwana Made Santra berhasil
menjadi pemenangnya. Sementara lawannya, Wayan Merta yang seorang incumbent
berada di urutan kedua. Made Santra memenangi kontestasi dengan perolehan suara
yang cukup telak dengan total 3542 suara dari 4345 orang pemilih.
Made
Santra mampu memenangi kontestasi pemimpin tertinggi di desa Sekar Bhuwana tak lepas pula dari pengaruh seorang ayahnya.
Ayahnya dikenal sebagai tokoh adat yang
sangat dihormati dan disegani. Sementara Made Santra yang tinggal di kota juga
dikenal dermawan serta sering membawa bantuan sosial ke desanya
Menjadi
perbekel Desa Sekar Bhuwana periode 2017-2023 begitu dinikmati dengan penuh
pengabdian. Ia mulai membangun hubungan harmonis dengan perangkat desa. Rekan
kerja dianggapnya menjadi bagian dari keluarga sehingga terjalin keterikatan.
Begitupula hubungan baik pun terjalin dengan Badan Permusyawaratan Rakyat
(BPD), serta kelembagaan di desa.
Dana
Desa yang dikucurkan Pemerintah Pusat menjadi pemantik bagi Made Santra. Ia
bukan tipe orang yang hanya menikmati kerja sebagai rutinitas, tetapi terus
bergerak mematri pola pikir masyarakat desa. Semangat di balik bukit terus
digaungkan memunculkan aura-aura positif mengembangkan potensi tersembunyi yang
dimiliki desanya.
Para
petani tak lagi mengeluh yang sebelumnya berlumur peluh. Kini mereka sudah
termudahkan dengan akses yang dibangun sebagai penghubung pertanian juga
dijadikan jalan akses desa wisata.
Pariwisata
dibangun dengan pola terstruktur berbasis kearifan lokal desa. Setiap orang
dirangkul bersama-sama berperan mendapat kesempatan sesuai dengan kemampuannya.
Air terjun ditata sedemikian rupa penuh dengan keindahan khas pedesaan di Bali.
Pedagang yang berusia senja dibuatkan tempat khusus di Kawasan wisata itu
dengan biaya sewa yang tak memberatkan.
Makan
khas pedesaan serta produk lokal seperti Arak Bali dikemas secantik-cantiknya. Sesekali
juga ditampilkan atraksi budaya yang memikat tak hanya wisatawan lokal namun
juga telah merambah sampai wisatawan.
Terobosan-terobosan
terus dibangun oleh Made Santra untuk memudahkan pelayanan masyarakat. Jejaring
internet dimanfaatkan dengan baik melalui sistem pelayanan terintegrasi melalui
aplikasi handphone. Warga Desa Sekar Bhuwana tak lagi harus ke kantor
mengurus surat karena cukup mengakses dari rumah setiap administrasi yang
diperlukan bisa diselesaikan.
Made
Santra menangkap peluang melahirkan peluang-peluang lainnya. Desa wisata
dikelola melaui bumdes yang omsetnya sudah mencapai 800 juta pertahunnya.
Bahkan, terus menerus mengalami kenaikan dengan hasil yang kembali dinikmati
oleh masyarakat desa melalui program pembangunan desa.
Kini,
sudah hampir lima tahun Made Santra telah jatuh bangun menata desa Sekar
Bhuwana sehingga menjadi desa indah di Balik bukit namun disegani. Ia telah
membuktikan kesuksesan tak hanya berada di kota saja, namun dengan memanfaatkan
sumber daya manusia dan sumber daya alam desa pun mampu berbenah dan membangun peradaban
kesuksesan.
Suatu
ketika di kala senja, matahari mulai menuju persembunyiannya. Made Santra dan
ayahnya duduk berdua di gazebo di tengah sawah yang dibangun dan ditata selama
lima tahun belakangan ini.
Suasana
begitu cair, senyum sembringah kedua beradu sambil sesekali gelak tawa keluar
dari keduanya. Percakapan mengalir ditemani suara gemericik air mengalir di
perswahan yang sejuk dan menenangkan.
“De,
kalau saja Ayah dulu ngotot melarang pasti takkan ada desa wisata ini.”
“Ah,
Ayah tetap motivatorku.”
“Loh,
kenapa, De?”
“Ayah
telah membuka cakrawala pikir sehingga Aku menjadi percaya diri.”
“Aku
malah menjatuhkan semangatmu De.”
“Tidak,
Yah. Ayah telah melecut semangatku untuk membuktikan kesuksesan bisa di raih di
desa.”
Ayahnya
kemudian tersenyum berkata, “De, Ayah memang mengharapkan yang terbaik agar
kamu pergi ke kota. Tetapi ayah lupa kalau di desa ada cahaya kecil yang mampu
menerangi kota. Bangga Ayah padamu De.”
“Ini
juga karena Pemerintah pusat begitu luar biasa perhatian kepada desa, Yah.”
Ucap Made santra penuh semangat.
“Iya
De. Sekarang tugasmu menjaga semua ini. Jadikan masyarakat desa semakin
sejahtera,” Ucap ayahnya penuh harap.
“Siap
Yah. Kita memang tak perlu berkecil hati meski dari desa, Kalau telah tertata
dengan baik mereka-mereka akan datang kesini meski kita tersembunyi di balik
bukit.” Ungkap Made Santra penuh senyum kegembiraan.
Tak
terasa langit sudah semakin gelap, hingga angin dingin sawah mulai terasa
semakin menusuk di kulit yang akhirnya menghentikan percakapan mereka untuk
kembali ke rumahnya.

