ASA DARI BALIK BUKIT (Sebuah Cerpen tentang Desa)


 

(foto: ilustrasi gemini ai)

Udara pagi terasa pengap berselimut panas membara bagai api yang membakar disekujur tubuh di tengah suasana sejuk desa Sekar Bhuwana. Made Santra termenung di pojokan kamar tengadah menatap langit-langit kamarnya. Tatapan matanya kosong memendam rasa kecewa yang mendalam sejak kemarin malam.

“Keluar kamu De,” Bentak pria paruh baya dari sisi kamarnya seraya menggedor-gedor pintu kamar.

Tok!...Tok!

Made Santra masih tak bergeming, ia masih duduk di pojokan sebelah di samping kasurnya yang sempit. Berkali-kali panggilan tak dijawabnya, sedikitpun tak ada kata yang keluar dari bibirnya.

“Cepat keluar, dari tadi diam saja,” Ucap pria itu lagi dengan nada marah. “Apa saja yang kamu lakukan di dalam. Apa kamu tak mendengar!”. “Siapa yang mengajarimu tak beretika?.”

Suara pintu yang semakin keras terdengar yang akhirnya membuat Made Santra mulai bergeming, “Iya, iya Ayah. Aku keluar sekarang,” Jawab Made Santra segera membuka pintu yang menghampiri pria yang memangil-manggilnya tadi itu yang merupakan ayahnya.

“Ngapain kamu tak menyahut dari tadi dipanggil-panggil. Kamu sudah cukup dewasa seharusnya kamu jangan seperti anak kecil lagi,” Kata ayahnya dengan nada yang masih tinggi.

“Aku bukan anak kecil lagi Yah. Selalu diatur-atur.” sahut Made Santra yang tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.

“Diam, cukup. Dari kemari kamu masih saja melawan. Aku ini ayahmu!”

“Terus saja marahi aku Yah, terus!”

“Ikuti perintah ayah, kamu harus mengerti itu!”

“Aku juga punya pilihan sendiri, Ayah harus mengerti aku juga!”

Pergulatan Made Santra dan ayahnya semakin kian tak berujung. Wajah ayahnya memerah padam sementara Made Santra semakin tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.

“Sudah bagus bekerja di kota, kenapa kamu harus berhenti malah pulang. Apa yang bisa kamu harapkan di sini,” Ujar ayahnya dengan nada yang kini kian merendah.”Kembali ke kota, itu pilihan yang lebih menjamin kehidupanmu nanti.”

Sementara Made Santra terdiam, tak menyahut sepatah katapun. Bibirnya semakin membeku raut wajahnya layu semu.

“Ayah punya harapan terbaik untukmu. Tetap kerja di kota, jangan tinggal di sini. Apa yang kamu harapkan dari hidup di desa!” kata ayahnya lagi.

“Cukup Yah, aku masih tetap ingin di desa.” Ucap Made Santra langsung pergi meninggalkan ayahnya pergi ke luar rumah.

Rasa lelah Made Santra dicerca untuk tetap tinggal di kota membebani pikiran dan bahkan batinnya. Rumah yang sejuk pun terasa pengap, sementara ia baru pulang kemarin malam selepas rutinitas menyelesaikan berkas administrasi pekerjaan di ibu kota. Baru kemarin ia memutuskan untuk berhenti dan mengundurkan diri dari perusahaan yang telah digeluti selama lima tahun belakangan.

Perasaan yang tak menentu dan beban yang dipendam membuatnya pergi untuk menghirup udara bebas di pedesaaan. Ia pergi tanpa pamit berkeliling di desa Sekar Bhuwana memandangi hamparan sawah yang masih asri di kelilingi perbukitan. Desa Sekar Bhuwana berada di balik bukit yang jauh dari perkotaan. Namun, tatapannya kini lebih cerah, rona wajahnya nampak lebih bersemi.

Di tengah perjalanan, ia melihat para petani begitu gigih memikul gabah dan hasil-hasil pertanian di pundaknya. Wajah-wajah lelah para petani basah bercucuran peluh di tengah teriknya matahari menyengat kulit. Di sini Made Santra terhenti serta menghela nafas sambil menatap para petani dengan rasa penuh empati.

Selepas melewati hamparan sawah kini Made Santra bertemu seorang nenek tua paruh baya sedang menjajakan daganganya di pinggir jalan. Rasa iba membuatnya terhenti dan membeli sebungkus nasi yang dijajakan oleh nenek itu. Kebetulan perutnya masih kosong, tak ada apapun yang ia nikmati sejak pagi itu.

Menjelang sore, perjalanan telah membawa Made Santra ke pinggir sungai yang membuatnya tertegun. Ia mendapati keindahan alam yang tak terurus, sampah berserakan di sepanjang sungai itu. Namun dihadapannya ada air terjun yang cantik dengan air yang dingin dan jernih.

Kini, pikiran Made Santra semakin terguncang penuh dilema. Satu sisi ia memiliki asa mengembangkan potensi desanya. Sementara disisi lain ayahnya tak pernah memberi restu karena keinginnya tetap agar Made Santra tinggal di kota. Hingga hari yang telah semakin gelap membawa Langkah kakinya kembali ke rumah.

Sesampai di rumah, ayahnya telah menunggu di pagar pintu.

“Dari mana saja kamu seharian?” Tanya ayahnya dengan nada penuh marah.

“Aku keliling Yah, mencari udara bebas.” Sahut Made Santra menunduk.

“Segera masuk, siapkan besok kembali ke kota. Disana hidupmu akan lebih terjamin.” Ucap ayahnya penuh harap.

“Tidak Yah, aku sudah memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai Perbekel Sekar Bhuwana.” jawab Made Santra bulat.

“Apa?” tanya ayahnya kaget. Sontak saja bengong mendengar jawaban Made Santra diluar yang pernah ia bayangkan. Anak yang ia sayangi dan harapkan untuk mencapai kesuksesan malah merencanakan sesuatu yang menurutnya tidak menjamin kehidupan.

“Kamu mimpi?”

“Keputusanku sudah bulat Yah.”

“Urungkan niatmu yang tak jelas itu.”

“Tidak Yah, Aku akan menjalani semua apapun yang terjadi.”

Made Santra segera masuk ke dalam kamarnya. Keputusan Made Santra mencalonkan diri menjadi perbekel (Kepala Desa) Desa Sekar Bhuwana cukup mengangetkan ayahnya. Pilihan yang sulit diterima  ayahnya karena ia sudah memiliki penghasilan mapan semenjak bekerja di salah satu perusahan terpandang di ibu kota.

Rupanya Made Santra diam-diam sejak tiga bulan terakhir mengulik kabar dari internet lewat media sosialnya. Pergantian tampuk kepemimpinan di desanya membuka secercah harapan untuk mengabdikan diri pada tanah kelahirannya.

Hari-hari berlalu Made Santra telah cukup memenuhi syarat untuk mencalonkan diri menjadi perbekel, sementara itu ayahnya kini semakin menutup diri. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya.

Perjalanan Made Santra dalam kontestasi pemilihan perbekel desa Sekar Bhuwana benar-benar tak dilalui dengan mudah. Ia harus berhadapan dengan Wayan Merta seorang incumbent yang terpandang bahkan ditakuti di desanya.

Memasuki masa-masa kampanye mulai isu-isu disebar untuk menjatukan nama baik Made Santra. Intimidasi juga sering dilakukan untuk menjegal dan berupaya menjatuhkan Made Santra.

Suatu ketika, di pinggiran jalan Made Santra dibantu saudaranya memasang baliho datang dari arah belakang Ketut Jering orang suruhan Wayan Merta marah menggeber motor, memaki dan berkata, “he…anak kemarin sore. Mundur saja, percuma maju untuk kalah.”

“Ini demokrasi yang menentukan adalah pilihan masyarakat desa ,” Ucap Made Santra pelan.

“Balik saja ke kota. Jangan harap bisa menang menjadi perbekel.”

“Siapa kamu yang menentukan?”

“Banyak omong, alasan. Kalah ya kalah.”

“Kita tunggu saja hasilnya.”

“Awas saja kamu!” gertak Ketut Jering sambil menggeber motor pergi meninggalkan Made Santra.

Keteguhan hati Made Santra tetap tak tergoyahkan meskipun berbagai intimidasi dan ancaman tiap hari harus ia hadapi. Namun, di tengah semangatnya itu Made Santra tetap merasa kurang karena restu dari ayahnya belum juga ia dapatkan. Made Santra memutuskan untuk menemui dan memohon restu dari ayahnya.

Saat senja gerimis, ayahnya duduk termenung memandang tanaman disekitaran. Datang Made Santra bersimpuh dan bersujud di depan ayah.

“Maafkan aku Yah, aku merasa sangat bersalah.” kata Made Santra lirih.

Sedikitpun ayahnya tak bergeming, raut sedih nampak dengan tatapan matanya mengambang. Tak cukup kata yang mampu diungkapkan, Made Santra menunduk tak bergeser dari kaki ayahnya.

“Sudah, sudah De. Bangunlah,” Ucap ayahnya pelan. “Saat ini Ayah tak bisa lagi melarangmu.” Kalau itu sudah kemauanmu bapak tak mampu menahan lagi.”

“Ayah, maafkan aku.”

“Tidak, nak. Tak perlu minta maaf.”

“Aku hanya ingin mengabdi untuk tanah kelahiran kita, Yah.”

“Jika ini adalah jalanmu dan ketulusanmu semoga Tuhan memberi jalan terbaik untukmu, Nak.” Sahut ayahnya seraya memegang kepala Made Santra memberi restu.

Gerimis senja menjelang malam hari itu seketika terhenti. Bagaikan ikut serta menjadi pertanda pergulatan anak dan ayah telah usai sejak berminggu-minggu. Sejak itu pula Made Santra dipenuhi semangat dan energi baru merasuk disekujur tubuhnya.

Begitu tiba waktunya pemilihan perbekel desa Sekar Bhuwana Made Santra berhasil menjadi pemenangnya. Sementara lawannya, Wayan Merta yang seorang incumbent berada di urutan kedua. Made Santra memenangi kontestasi dengan perolehan suara yang cukup telak dengan total 3542 suara dari 4345 orang pemilih.

Made Santra mampu memenangi kontestasi pemimpin tertinggi di desa Sekar Bhuwana  tak lepas pula dari pengaruh seorang ayahnya.  Ayahnya dikenal sebagai tokoh adat yang sangat dihormati dan disegani. Sementara Made Santra yang tinggal di kota juga dikenal dermawan serta sering membawa bantuan sosial ke desanya

Menjadi perbekel Desa Sekar Bhuwana periode 2017-2023 begitu dinikmati dengan penuh pengabdian. Ia mulai membangun hubungan harmonis dengan perangkat desa. Rekan kerja dianggapnya menjadi bagian dari keluarga sehingga terjalin keterikatan. Begitupula hubungan baik pun terjalin dengan Badan Permusyawaratan Rakyat (BPD), serta kelembagaan di desa.

Dana Desa yang dikucurkan Pemerintah Pusat menjadi pemantik bagi Made Santra. Ia bukan tipe orang yang hanya menikmati kerja sebagai rutinitas, tetapi terus bergerak mematri pola pikir masyarakat desa. Semangat di balik bukit terus digaungkan memunculkan aura-aura positif mengembangkan potensi tersembunyi yang dimiliki desanya.

Para petani tak lagi mengeluh yang sebelumnya berlumur peluh. Kini mereka sudah termudahkan dengan akses yang dibangun sebagai penghubung pertanian juga dijadikan jalan akses desa wisata.

Pariwisata dibangun dengan pola terstruktur berbasis kearifan lokal desa. Setiap orang dirangkul bersama-sama berperan mendapat kesempatan sesuai dengan kemampuannya. Air terjun ditata sedemikian rupa penuh dengan keindahan khas pedesaan di Bali. Pedagang yang berusia senja dibuatkan tempat khusus di Kawasan wisata itu dengan biaya sewa yang tak memberatkan.

Makan khas pedesaan serta produk lokal seperti Arak Bali dikemas secantik-cantiknya. Sesekali juga ditampilkan atraksi budaya yang memikat tak hanya wisatawan lokal namun juga telah merambah sampai wisatawan.

Terobosan-terobosan terus dibangun oleh Made Santra untuk memudahkan pelayanan masyarakat. Jejaring internet dimanfaatkan dengan baik melalui sistem pelayanan terintegrasi melalui aplikasi handphone. Warga Desa Sekar Bhuwana tak lagi harus ke kantor mengurus surat karena cukup mengakses dari rumah setiap administrasi yang diperlukan bisa diselesaikan.

Made Santra menangkap peluang melahirkan peluang-peluang lainnya. Desa wisata dikelola melaui bumdes yang omsetnya sudah mencapai 800 juta pertahunnya. Bahkan, terus menerus mengalami kenaikan dengan hasil yang kembali dinikmati oleh masyarakat desa melalui program pembangunan desa.

Kini, sudah hampir lima tahun Made Santra telah jatuh bangun menata desa Sekar Bhuwana sehingga menjadi desa indah di Balik bukit namun disegani. Ia telah membuktikan kesuksesan tak hanya berada di kota saja, namun dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam desa pun mampu berbenah dan membangun peradaban kesuksesan.

Suatu ketika di kala senja, matahari mulai menuju persembunyiannya. Made Santra dan ayahnya duduk berdua di gazebo di tengah sawah yang dibangun dan ditata selama lima tahun belakangan ini.

Suasana begitu cair, senyum sembringah kedua beradu sambil sesekali gelak tawa keluar dari keduanya. Percakapan mengalir ditemani suara gemericik air mengalir di perswahan yang sejuk dan menenangkan.

“De, kalau saja Ayah dulu ngotot melarang pasti takkan ada desa wisata ini.”

“Ah, Ayah tetap motivatorku.”

“Loh, kenapa, De?”

“Ayah telah membuka cakrawala pikir sehingga Aku menjadi percaya diri.”

“Aku malah menjatuhkan semangatmu De.”

“Tidak, Yah. Ayah telah melecut semangatku untuk membuktikan kesuksesan bisa di raih di desa.”

Ayahnya kemudian tersenyum berkata, “De, Ayah memang mengharapkan yang terbaik agar kamu pergi ke kota. Tetapi ayah lupa kalau di desa ada cahaya kecil yang mampu menerangi kota. Bangga Ayah padamu De.”

“Ini juga karena Pemerintah pusat begitu luar biasa perhatian kepada desa, Yah.” Ucap Made santra penuh semangat.

“Iya De. Sekarang tugasmu menjaga semua ini. Jadikan masyarakat desa semakin sejahtera,” Ucap ayahnya penuh harap.

“Siap Yah. Kita memang tak perlu berkecil hati meski dari desa, Kalau telah tertata dengan baik mereka-mereka akan datang kesini meski kita tersembunyi di balik bukit.” Ungkap Made Santra penuh senyum kegembiraan.

Tak terasa langit sudah semakin gelap, hingga angin dingin sawah mulai terasa semakin menusuk di kulit yang akhirnya menghentikan percakapan mereka untuk kembali ke rumahnya.



Karya : I Wayan Supadma Kerta Buana

Pemenang Juara I Gerakan TPP Menulis Kategori Cerpen, Bhakti Pendamping Desa tingkat Nasional tahun 2023


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama